Kembali lagi bersama saya di blog tetamatika, tetamatika memberikan berbagai administrasi guru, materi ajar, media pembelajaran yang berkaitan dengan pelajaran matematika. Kali ini saya akan membahas model pembelajaran creative problem solving (CPS).
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metapor, atau kiasan yang dirumuskan. Mariana (Matin, 2011: 22) menerangkan model tentang model dengan anggapan seperti kisaran yang dirumuskan secara ekplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlakukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Jadi model merupakan kisaran yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metapor, atau kiasan yang dirumuskan. Mariana (Matin, 2011: 22) menerangkan model tentang model dengan anggapan seperti kisaran yang dirumuskan secara ekplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlakukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Jadi model merupakan kisaran yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.
Model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Mariana dalam Matin, 2012: 23).
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional secara mikro menyebutkan bahwa salah satu indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah lahirnya sumber daya manusia yang kreatif. Kreativitas ini (Mulyasa, dalam Wulandari, 2009: 19) akan terlihat dalam cara bagaimana siswa dapat memecahkan suatu kesulitan, rintangan atau menjembatani suatu perbedaan pendapat ataupun suatu harapan dan kenyataan yang tidak sesuai secara logis, efektif dan efisien.
Menurut Mitchel dan Kowalik (Wulandari, 2009: 12):
Creative, an idea that has an element of newness or uniqueness, at least to the one who creates the solution and also has value and relevancy.Problem, any situation that pressents a challenge, an opportunity, or is a concern. Solving, devising ways to answer, to meet, or to resolve the problem. Therefore, CPS is a process, method, or system for approachng a problem in an imaginative way and resulting in effective action.
Menurut Karen (Matin, 2011: 23), model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, ketrampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.
Model Creative Problem Solving (CPS) merupakan salah satu metode alternatif yang dapat digunakan sehingga keaktifan siswa akan menjadi lebih baik. Penerapan metode Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran matematika melibatkan siswa untuk dapat bersikap aktif dalam proses pembelajaran.
Model Creative Problem Solving (CPS) pertama kali dikembangkan oleh Alex Osborn, pendiri The Creative Education Foundation (CEF) dan co-founder of highly sucsessfull New York Adversiting Agenncy. Pada tahun 1950-an Sidney Parnes bekerjasama dengan Alex Osborn melakukan penelitian untuk menyempurnakan model ini. Sehingga, model Creative Problem solving (CPS) ini juaga dikenal dengan nama The Osborn-Parnes Creative Problem Solving (CPS) model. Pada awalnya, model ini digunakan perusahaan-perusahaan dengan tujuan agar para karyawan memiliki kreativitas yang tinggi dalam setiap tanggung jawab pekerjaannya. Namun pada perkembangan selanjutnya, model ini juga ditetapkan pada dunia pendidikan.
Langkah-langkah dalam CPS menurut Mithcell dan Kowalik (Matin, 2011: 24) adalah:
a. Mess-finding (menemukan yang dirasakan sebagai pengganggu)
Tahap pertama, merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi situasi yang dirasakan menggangu.
b. Fact-finding (menemukan fakta)
Tahap kedua, mendaftarkan semua fakta yang diketahui yang berhubungan dengan situasi tersebut, yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi informasi yang tidak diketahui tetapi esensial pada situasi yang sedang diidentifikasi dan dicari.
c. Problem-finding (menemukan masalah)
Pada tahap menemukan masalah, diupayakan kita dapat mengidentifikasi semua kemungkinan pernyataan masalah dan kemudian memilih apa yang paling penting atau yang mendasari masalah.
d. Idea-finding (menemukan ide)
Pada tahap ini, diupayakan untuk menemukan sejumlah ide atau gagasan yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
e. Solution-finding (menemukan solusi)
Pada tahap penemuan solusi, ide-ide atau gagasan-gagasan pemecahan masalah diseleksi, untuk menemukan ide yang paling tepat untuk memecahkan masalah,
f. Acceptance-finding (menemukan penerimaan)
Berusaha untuk memperoleh penerimaan atas solusi masalah, menyusun rencana tindakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.
Sedangkan proses pembelajaran dengan model pembelajaran CPS menurut Pepkin (Wulandari, 2009: 21) terdiri dari langkah-langkah:
a. Klasifikasi Masalah
Klasifikasi maslah meliputi penjelasan mengenai maslah yang diajukan kepada siswa, agar siswa memahami penyelesaian seperti apa yang diharapkan.
b. Pengungkapan Pendapat
Pada tahap ini siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat tentang bagaiman strategi pemecahan masalah. Dari setiap ide yang diungkapkan, siswa mampu untuk memberikan alasan.
c. Evaluasi dan Pemilihan
Pada tahap evaluasi dan pemilihan ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
d. Implementasi (penguatan)
Pada tahap ini siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Selain itu, pada tahapan implementasi, siswa diberi permasalahan baru agar dapat memperkuat pengetahuan yang telah diperolehnya.
Jika dibandingkan dengan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya (memahami masalah, merencanakan pemecahannya, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh), maka tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dengan langkah-langkah CPS. Hanya saja tujuan utama dari CPS (Parnes, dalam Afifah, 2009) adalah membantu siswa mengembangkan :
1. Kesadaran akan pentingnya usaha kreatif dalam belajar, pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan dan seni, dan kehidupan pribadi,
2. Motivasi untuk menggunakan potensi kreatif ,
3. Percaya diri dalam kemampuan kreatif,
4. Meningkatkan kesensitifan terhadap masalah di lingkungan sekitar suatu sikap “merasa tidak puas yang membangun”,
5. Terbuka terhadap ide-ide orang lain,
6. Rasa penasaran yang lebih besar – kesadaran terhadap banyak tantangan dan kesempatan dalam kehidupan.
Implementasi model Creative Problem Solving (CPS) dalam pembelajaran matematika (Matin, 2011: 26) yaitu:
1. Tahap awal
Guru menanyakan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika, kemudian mengulas kembali materi sebelumnya yang dijadikan prasyarat materi yang akan dipelajari siswa dan menjelaskan aturan main dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model Creative Problem Solving (CPS). Guru juga memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2. Tahap inti
Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion. Tiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang dibentuk oleh guru dan bersifat permanen. Tiap kelompok mendapat LKS yang berisi materi pembelajaran dan permasalahan untuk dibahas bersama dalam kelompoknya. Secara berkelompok siswa memecahkan permasalahan yang terdapat dalam LKS sesuai dengan petunjuk yang tersedia di dalamnya. Siswa mendapat bimbingan dan arahan dari guru dalam memecahkan masalah. Peranan guru dalam hal ini adalah menciptakan situasi yang dapat memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan brainstorming dalam rangka menjawab pertanyaan atas dasar interest siswa.
3. Tahap penutup.
Sebagai pemantapan materi, secara individual siswa mengerjakan pop quiz yang ditampilkan dengan media pembelajaran dan guru memberikan poin bagi siswa yang mampu memecahkan permasalahan sebagai upaya memotivasi siswa dalam mengerjakan soal-soal. Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan umumnya telah ada contoh soal. Pada masalah, siswa tidak tahu menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.
0 Komentar untuk "Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)"